Setelah lulus SMA, saya makin rajin menulis blog. Saya menjadi betah tinngal di "rumah siput" saya. Kegiatan sehari-hari saya cukup dengan sekedar tinggal di rumah, menulis dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang biasa saya kerjakan di dalam rumah.
Kehidupan saya menjadi berubah. Saya jadi tidak bersosial dengan orang sekitar. Saya rasa internet dapat menghubungkan saya dengan orang luar jauh lebih menarik dan lebih berwawasan daripada berhubungan dengan orang-orang sekitar yang terlihat sangat disable. "Enggak banget deh", berhubungan dengan mereka. Dengan jelas mereka memperlihatkan lagak sok hebat, padahal itu hanya luarnya saja. Mereka itu nothing.
Jelas saya mengidap agoraphobia dan socialphobia. Setelah saya membaca majalah yang membahas tentang sikap orang yang sangat menutup diri dari lingkungannya akibat merasa takut bahaya ataupun takut terbawa pengaruh buruk mereka.
Jika diibaratkan saya sedang mengikuti sebuah audisi tentang bagaimana cara bersosial yang baik dengan orang-orang sekitar, maka pastilah saya yang pertama tidak lolos. Juri akan memberikan saya kritik yang amat pedas dan menyakitkan. Saya sekarang adalah orang yang jauh dari perhatian tetangga, karena saya juga yang tidak perhatian pada mereka.
Lingkungan awal saya seperti biasa. Disini begitu konserpatif. Saya orang sunda dan keluarga sangat memegang teguh adat dan tradisi sunda yang luhur. Mungkin karena terinfluence internet dan obsesi saya yang begitu tinggi terhadap dunia moderen, lantas membuat saya cenderung labil.
Internet dan kebiasaan baru saya memang menghasilkan dampak yang bagus, namun disisi lain hal itu membuat saya kikuk. Saya menjadi "kutu komputer". Untuk jangka waktu seminggu sekali, saya coba menyempatkan diri untuk berexplorasi pergi menemui sahabat-sahabat terbaik saya. Tidak jarang hal itu menjadi sebuah inspirasi untuk saya menulis dan memahami tentang arti hidup.
Mungkin kamu sudah tahu, pada hari-hari biasa (senin-jum'at) saya bekerja disebuah kantor yang saya pikir kerja disana sangat tidak memuaskan. Maka kebencian itu juga bisa jadi dasar saya menulis. "Semua hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah inspirasi"
Selama saya nyaman dengan situasi sekarang, saya yakin akan terus berlatih demi mimpi saya. Saya mengorbankan sebagian komponen hidup saya terbengkalai. Mau tidak mau saya harus melakukannya, meski sangat berat dan merugikan.
Saat saya terpuruk, tindakan pertama yang saya lakukan adalah menuangkan isi pikiran saya pada beberapa lembar kertas ataupun komputer saya. Saya menjadi addict pada menulis. Memang sebelum itu saya biasa berdoa dan merenungi apa yang telah terjadi. Tapi kemudian saya pikir kegalauan yang saya dapat bisa menjadi inspirasi. Saya memanfaatkannya. Saya membiarkan emosi saya memproduksi ide untuk saya transformasikan pada beberapa lembar kertas. Maka setelah itupun kesedihan saya menjadi hilang.
Setiap hari jika ada hal menarik atau aneh atau juga belum pernah terjadi sebelumnya, saya merekamnya dalam otak, lalu ketika pulang atau beberapa saat setelahnya saya tulis hal itu. Ini sebuah respon dari otak saya yang memerintah untuk saya selalu semangat agar menjadi penulis hebat.
Pengaruh media massa sangat penting bagi saya. Baik itu televisi, radio, koran, majalah, juga internet sangat saya sukai. Setiap hari saya selalu membiasakan diri untuk peka terhadap media. Tergantung mood saya. Jika saya sudah merasa bosan dengan kesibukan dan merasa lelah, biasanya saya mendengarkan radio. Dengan suasana sepi, hanya saya sendiri, itu membuat lagu dalam radio menjadi sangat masuk dalam pencitraan.
Silih berganti media masa saya konsumsi. Semua ada plus-minusnya, justru itulah yang membuatnya menarik untuk dinikmati. Finaly... bagaimana dengan hal percintaan saya? Bila saya tetap bertahan, apa yang akan terjadi? Sejauh ini saya tidak tahu dan belum ada niat untuk menjalani hubungan istimewa. Tapi kalau ada, silahkan saja, saya akan welcome ;-)