October 8, 2012

Pengabdian Terhadap Keyakinan

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian

(Rumah Kaca, h. 138)”
Pramoedya Ananta Toer


Apa yang selanjutnya akan terjadi dalam kehidupanku ini. Bagaikan diayun-ambingkan, kesana-kemari, sedikit menyesatkan, hanya membuat kenihilan belaka.

Aku merasa terbebani, selalu tidak nyaman, muak.
Aku berpikir setengah-setengah.
Membantah apa yang telah aku rencanakan, untuk merangkai sebuah kesuksesan di suatu hari.
Tapi aku terus menulis. Aku mengaggap menulis adalah jalan yang bisa membuat aku lebih nyaman.
Aku merasa sulit berkomunikasi dengan hati.
Aku ingin berbincang dengan diriku yang lain, kini dia ada dihadapanku, dia nyata untukku dan aku tidak bisa menyapanya.
Seperti aku berjalan di sebuah jalan menuju sebuah tempat yang tanpa ku tahu kemana arahnya, tapi aku yakin dengan ketidakmungkinan ini.
Langkah pun semakin tua dan semakin meragu.
Di sepanjang jalan ku temui banyak orang yang sudah punya arah, lebih yakin dari aku.
Keyakinan mereka membuatku semakin kesal dan kembali iri.
Aku tidak layak menghentikan mereka.
Aku ingin mereka peduli padaku, -bawa aku disamping kalian, maka aku akan membalas budimu.
Kan kujadikan kau pahlawan.
Namun ternyata...

Jalan semakin buram dan mendung.
Aku malah cenderung mundur dan kemudian bersembunyi sejenak, atau bahkan cukup lama, sampai sempat beberapa orang dari orang-orang menganggapku mati.

Aku pun tertawa dengan terbahak-bahak, menandakan sebuah kebodohan menertawakan diriku sendiri.
Untuk waktu yang begitu runyam, aku berputar tanpa sebab dan membiarkan diriku terbakar percuma.

Mencari arah yang tak kunjung muncul pertanda.

Memulai kelelahan yang tak ada hasilnya.

Mengeluarkan perhatian demi keberhasilan namun tetap saja belum terlihat.

Apa ini salah, benar, atau hanya ilusi dan kebutaan hatiku?

Mungkin sudah waktunya untuk berangkat lagi, jangan berlama-lama menepi dan berjalan sendiri di jalan yang tanpa arah ini.

Aku seharusnya dapat pendamping disaat menjelajah ini.

Dunia ini terlalu luas untukku sendiri.

Tidak layak untuk kusinggahi bersama keangkuhan.

Aku akan terus menulis. Karena menulis adalah sebuah keberanian. Keberanian dibalik semua keraguanku terhadap jalan yang rumit.

Akhir-akhir ini Tuhan seakan mempermainkanku.

Dia membiarkanku bahagia lalu kemudian meninggalkanku bersama kehancuran.

Aku bekerja, gagal, mengundurkan diri, selalu seperti itu.

Aku mengalami kejadian semacam ini dalam berhubungan dengan wanita.

Hal-hal sepele.

Aku menyayangkan kegagalan.

Mereka terlalu baik, tiba-tiba sangat tidak baik. Memang mungkin tidak baik.

Dan selanjutnya seperti biasa.




Pengabdian Terhadap Keyakinan

Lihat apa yang mereka lakukan, menunjukan satu-persatu kemajuan yang begitu signifikan, sedang aku? Aku sejujurnya sangat malu dengan diri ini kemanapun aku pergi, karena aku merasa tidak berarti seperti orang-orang yang sangat aku yakini bernasib baik. Ya Tuhan ampuni aku karena aku selalu merasa bahwa diriku adalah kecil dan murahan. Orang lain pernah bilang kepadaku; bagaimana orang lain akan menghormati dirimu jikalau kamu sendiri pun tidak merasa berharga. Lantas apa yang selama ini aku pernah lakukan seperti percuma saja. Aku benci situasi seperti ini, yang selalu terjadi disaat kapan saja -tanpa kompromi.

Di umur yang keduapuluh satu ini aku mengalami banyak hal yang membuatku iri dan galau. Aku iri menyaksikan teman-teman yang melanjutkan pendidikannya ke tahap perguruan tinggi. Aku iri dengan mereka yang mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan passion mereka. Aku iri dengan teman-teman yang bisa mencapai sebuah titik standar sukses karena keberanian dan kepercayadiriannya. Aku sangat iri melihat teman-temanku yang kebanyakan sudah punya pasangan hidup. Aku sangat-sangat iri hati dengan semua tingkah mereka. Aku merasa langkahku semakin tertinggal dari mereka. Bagaimana caranya aku meyakinkan diri sendiri untuk bisa tetap bersahaja dengan keadaan. Sialnya, mereka itu adalah orang-orang terdekatku.

Mungkin aku memang terlalu salah menilai ini dan itu. Bagaimana jika dibandingkan dengan sosok lain, mmm, mungkin aku bisa ambil contoh; Quinnella. Dia adalah seorang wanita, lebih cocok ku panggil kakak atau teteh untuk memberi aksen bahwa dia adalah orang sunda. Namanya cukup asing buatku saat awal aku mencoba ingin mengenalnya. Aku tahu dia dari mantan pacarnya dulu, Yas Budaya. Sekarang umurnya sudah 32 tahun, dan sebentar lagi dia akan menuju ke jenjang pernikahan dengan seorang pria bernama Abdul. Saat masih berhubungan dengan Yas, dia sangat bahagia. Mungkin tidak untuk sekarang, bahkan mungkin dia sudah sangat jauh dari kehidupannya. Seketika, waktu itu berubah menjadi tidak harmonis. Pasangan mesra pun berakhir berantakan.

Sebuah perjalanan cinta yang cukup lama dan rumit akhirnya terbantahkan dengan datangnya seorang jodoh yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk datang disaat yang sudah ditentukan. Ooooh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keduanya. Sosok ketiga pun muncul dan seakan menjadi pengacau namun juga berperan sebagai pahlawan.

Sebuah pertanyaan bodoh muncul - Kenapa aku bisa tahu kisah dia? Dan kenapa aku sepertinya sangat tertarik untuk bisa mengetahui tentang kehidupan orang lain?

Jawabannya.. karena aku suka kisah orang-orang yang unik. Selebihnya adalah, karena aku mengira bahwa kehidupan mereka itu (artist) adalah sebuah contoh atau teladan yang baik yang bisa aku serap sebagian untuk aku aplikasikan dalam kehidupanku sendiri.

Bagaimana dengan sosok idola? Bisa aku bilang mereka adalah idola, mereka adalah orang yang aku pilih untuk kujadikan panutan dan teladan untuk hidupku. Mereka ada dalam sanubariku. Kisahnya takkan lekang oleh waktu. Aku melakukan apa yang mereka lakukan. Aku membawanya dan meletakannya dalam tempat yang terbaik dalam kehidupanku. Aku akan terus menyukai mereka, karena itu adalah pengabdian, dan pengabdian yang kulakukan memang tidak akan pernah bisa mereka rasakan. Aku melakukan ini semua untuk diriku sendiri. Dan tanpa peran mereka, kelakuan ini pun - akhirnya takkan berarti.



“Biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku, kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki. Memang menyegarkan. Tapi tiada arti. Barangkali pada titik inilah kita berpisah..

(Arus Balik, h. 669)”
Pramoedya Ananta Toer


“Setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan”
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2 

No comments: